Part 3
Semua orang yang mendengar sumpah Rahayu ikut geram dan membuat bulu kuduk merinding. Mereka juga ingin
membalas perbuatan manusia-manusia biadab yang telah melakukan hal begitu keji terhadap Raihanum. Gayatri
memeluk erat tubuh Rahayu yang bergetar hebat karena menangis terisak.
"Bizhar yakin mereka pasti akan mendapatkan hukuman yang setimpal, Mbah. Allah tidak akan membiarkan
hamba-Nya yang melampaui batas terlena akan perbuatannya. Cepat atau lambat Allah akan memberikan
hukuman bagi hamba-hamba-Nya yang berdosa. Hukum tabur tuai itu ada, Mbah."
"Yang dikatakan Mas Bizhar benar, Mbah. Sekarang lebih baik kita bawa pulang Hanum agar cepat di makamkan.
Kasian Hanum, Mbah," timpal Gayatri. Rahayu mengangguk pasrah.
Abizhar menggendong jasad Raihanum menuju rumah Rahayu. Sepanjang jalan darah terus mengalir dari pangkal
paha Raihanum, hal itu membuat hati Rahayu semakin terluka.
Mereka telah sampai di rumah Rahayu dengan basah kuyub akibat terkena derasnya hujan. Sigap Warsih
menggelar tikar untuk meletakkan jasad Raihanum.
"Jangan tidurkan Hanum di lantai, Bizhar! Kasian Hanum badannya nanti sakit semua, biarkan dia istirahat di
kamarnya. Hanum pasti capek setelah seharian berjualan sampai ketiduran di kebun singkong," ujar Rahayu sambil
terkekeh, tetapi air mata tanpa sadar mengalir membasahi pipi.
Ucapan Rahayu membuat semua orang tak kuasa menahan kesedihan hingga kristal bening keluar dari mata
mereka.
"Istighfar, Mbah. Hanum sudah tidak ada," ujar Warsih seraya mengusap bahu Rahayu.
"Tidak ada gimana, War. Apa kamu tidak lihat jika Abizhar lagi menggendong Hanum?"
"Hanum sudah meninggal bukan tidur, Mbah," timpal Gayatri.
"Hanum tidak meninggal. Dia sudah janji tidak akan pergi kemana-mana. Hanum anaknya tidak pernah ingkar."
"Ya Allah, betapa terpukulnya batin Mbah Yu sehingga dia seakan tidak percaya Hanum telah meninggal." Abizhar
membatin sembari menatap Rahayu sendu.
"Ayo bawa Hanum ke kamarnya, Bizhar. Kenapa kamu diam saja?" Pertanyaan Rahayu membuat Abizhar tersentak
sekaligus bingung.
"Istighfar, Mbah. Lihat Hanum baik-baik. Dia sudah meninggal."
Rahayu menatap gadis yang sudah tidak bernyawa itu dalam gendongan Abizhar. Tangisnya kembali pecah setelah
menyadari cucunya pergi dengan cara tragis. Sigap Gayatri memeluk Rahayu yang menangis tersedu-sedu.
Sementara Warsih mengambil segelas air untuk Rahayu.
Napas Rahayu mulai beraturan setelah diberi minum oleh Warsih. Lafal istighfar tidak henti dilafalkannya. Rahayu
mencoba berdamai dengan keadaan, tetapi keikhlasan belum bersemayam dalam hatinya. Tidak ada seorang pun
yang ikhlas menerima kepergian orang yang berarti dalam hidupnya, pergi untuk selamanya dengan cara tidak
manusiawi.
Abizhar meletakkan jasad Raihanum di ruang tamu yang beralas tikar.
"Sebaiknya kalian pulang, sebentar lagi Maghrib. Selepas Shalat Maghrib baru kita makamkan Hanum," ujar Rahayu
menatap semua orang yang masih berada di rumahnya.
"Yang dikatakan Mbah Yu benar, kita pulang dulu selepas shalat baru ke sini lagi," ujar salah satu warga.
Satu persatu mereka pulang yang tersisa Abizhar, Warsih dan Gayatri. Mereka tidak tega meninggalkan Rahayu
sendirian.
"Kenapa kalian belum pulang? Apa kalian tidak berniat Shalat Maghrib?"
"Shalat, Mbah. Tapi bagaimana dengan Mbah?"
"Mbah tidak apa-apa, Bizhar. Sudah biasa Mbah berdua dengan Hanum. Cepat kalian pulang setelah itu kita
makamkan Hanum malam ini juga."
"Ibu sama Mas Bizhar pulang saja. Aku yang akan menemani Mbah Yu di sini."
"Ya sudah, ibu pulang. Gayatri di sini saja ya, Mbah."
"Iya, War. Biar dia pakai bajunya Hanum."
Selepas Abizhar dan Warsih pulang, Gayatri memasak air untuk mandi Rahayu.
"Aku mandi duluan ya, Mbah. Air untuk Mbah mandi lagi dimasak."
"Iya, Tri. Mbah jaga Hanum." Gayatri mengangguk.
Rahayu menatap jenazah cucunya yang ditutup kain sambil membaca Surat Yasin. Air matanya selalu mengalir
tanpa bisa ia cegah. Lantunan Surat Yasin ia lafalkan dengan terbata-bata, tertahan karena isak tangis.
"Hik hiks hiks hiks."
Degh!
Jantung Rahayu berdegub kencang ketika mendengar suara tangis menyayat hati dari kamar Raihanum. Suara
tangis itu terdengar jelas di telinga Rahayu karena kamar Raihanum dekat dengan ruang tamu.
Rahayu menghentikan mengajinya. Ia beranjak mendekati kamar Raihanum. Dengan tangan gemetar dan dada
yang berdebar, Rahayu menyingkap tirai penutup kamar cucunya. Matanya terbelalak, jantungnya seakan terlepas
dari rongganya melihat Raihanum duduk di lantai dengan posisi memeluk lutut, menenggelamkan wajahnya.
"Hanum."
Hening
Tak ada sahutan, suara tangis pun tidak terdengar lagi.
"Hanum. Ini benaran kamu kan, Nduk. Mbah lega kamu masih hidup. Jangan tinggalkan Mbah sendiri ya, Nduk."
Rahayu mendekati cucunya yang bergeming. Ia berjongkok ingin memeluk tubuh Raihanum yang kembali bergetar
karena isak tangis.
"Jangan menangis, Nduk! Katakan siapa yang sudah membuatmu menangis?" tanya Rahayu sembari mengusap
kepala Raihanum.
Rahayu terkejut ketika mengusap kepala cucunya tiba-tiba tangannya berlumuran darah. Sontak ia terduduk di
lantai.
"Kenapa kepalamu berdarah, Nduk?"
"Mereka jahat! Mereka kejam! Mereka biadab!" teriaknya.
Rahayu syok, napasnya tidak beraturan melihat wajah Raihanum berlumuran darah dengan mata melotot. Dia
berteriak berharap Gayatri mendengar teriakkannya.
Gayatri menuju kamar Raihanum dengan tergopoh-gopoh karena mendengar teriakkan Rahayu. Ia takut terjadi
sesuatu yang buruk dengan perempuan yang sudah dianggapnya neneknya sendiri.
"Ada apa, Mbah? Kenapa Mbah Yu berteriak?" tanya Gayatri ketika melihat Rahayu menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangannya.
Rahayu berhambur memeluk Gayatri sambil menangis.
"Istighfar, Mbah," ujar Gayatri sembari mengusap punggung Rahayu.
"Ada apa, Mbah?" Gayatri mengulang pertanyaannya ketika Rahayu melepaskan pelukannya.
"Tidak apa-apa, Tri. Mbah tadi kaget ada tikus di kamar Hanum. Mbah mandi dulu, kamu salat saja duluan."
"Iya, Mbah," sahut Gayatri tak puas hati. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan Rahayu.
Gayatri menggelar sajadah lalu memakai mukenah milik Raihanum. Ia memulai salat. Jantung Gayatri terpompa
lebih cepat ketika pada rakaat kedua saat ia melafalkan Allahu Akbar, telinganya samar mendengar suara
Raihanum mengucap kata yang sama.
Gayatri tetap melanjutkan salatnya dengan perasaan tidak karuan. Ia merasa lega ketika sampai di rakaat terakhir
suara yang diyakininya mirip Raihanum tidak terdengar lagi. Namun, ketika mengucapkan salam suara itu muncul
lagi.
"Assalamu'alaikum Warahmatullahi," ujar Gayatri seraya menoleh ke kanan.
"Assalamu'alaikum Warahmatullahi," sahut suara mirip Raihanum.
"Assalamu'alaikum Warahmatullahi," ujar Gayatri seraya menoleh ke kiri dengan perasaan cemas.
"Argh." teriak Gayatri ketika menoleh ke kekiri wajah Raihanum hanya berjarak sejengkal dengan senyum
menyeringai. Seketika tubuh Gayatri ambruk di lantai karena pandangannya tiba-tiba gelap

Post a Comment