Part 4
Warsih dan Ngatiyem-perempuan yang bertugas melakukan fardhu kifayah sekaligus sahabat Rahayu, terkejut
melihat seekor kucing hitam sedang menjilati darah yang mengalir di tikar dekat jasad Raihanum. Mereka segera
mengusir kucing hitam tersebut.
"Astaghfirullah," gumam Ngatiyem, bulu kuduknya merinding ketika berdiri di dekat jenazah Raihanum.
"Kemana Mbah Yu dan Gayatri? Kenapa mereka membiarkan jenazah Raihanum sendirian?" tanya Warsih.
Ngatiyem tidak menanggapi pertanyaan Warsih, bibirnya senantiasa mengucap istighfar. Air matanya mengalir
melihat sosok yang berdiri di dekat jasad Raihanum. Warsih mengernyit melihat perubahan wajah Ngatiyem.
"Ada apa, Mbah?" tanya Warsih pada perempuan yang usianya lebih dari 50 tahun tersebut.
Lagi, Ngatiyem tidak menanggapi ucapan Warsih. Ia justru memanggil sahabatnya.
"Rahayu. Kamu di mana, Rahayu?"
Rahayu keluar dari kamarnya lalu mendekati sahabatnya.
"Ada apa, Yem? Kenapa kamu berteriak begitu?" tanya balik Rahayu.
"Apa yang sudah kamu lakukan terhadap jasad Raihanum?" tanya Ngatiyem sembari memegang kedua lengan
sahabatnya.
"Apa maksudmu bertanya begitu?" tanya balik Rahayu sembari melepaskan tangan Ngatiyem.
Ngatiyem merasakan kesedihan mendalam pada sosok sahabatnya. Ia berhambur memeluk Rahayu.
"Aku tahu perasaanmu kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupmu. Hanum ibarat jantung dalam dirimu,
tapi kenapa kamu membaca mantra untuk membangkitkan arwah Hanum? Apa kamu tidak sedih cucumu menjadi
arwah penasaran?"
Rahayu mengurai pelukan Ngatiyem lalu menatap sendu sahabatnya.
"Kehilangan Hanum membuatku seperti kehilangan akal karena separuh jiwaku seakan pergi bersamanya. Kematian
Hanum yang begitu tragis membuat hatiku hancur lebur. Namun, aku tidak melakukan sesuatu yang kamu
tuduhkan, Yem. Tanpa aku baca mantra, cucuku akan bangkit untuk membalas perbuatan manusia-manusia biadab
itu. Lagi pula arwah orang yang meninggal tidak ada di dunia ini. Jadi, jangan ngawur kamu, Yem."
Ngatiyem merasa ada sesuatu yang disembunyikan Rahayu, tapi ia tidak ingin merusak perasaan sahabatnya lebih
dalam. Ngatiyem akan mencari tahu sendiri tentang penglihatannya pada sosok makhluk tak kasat mata mirip
Raihanum.
"Sudah ... Sudah, Mbah Yem dan Mbah Yu jangan bertengkar. Lebih baik kita mandikan Hanum agar segera
dikafani, disalatkan dan dimakamkan," lerai Warsih.
"Kami tidak bertengkar, War. Gayatri mana, Yu? Kita akan memulai memandikan Hanum. Aku sudah
mempersiapkan semuanya."
"Di kamar Hanum. Kenapa Abizhar belum datang? Siapa yang akan menggali tanah untuk menguburkan jenazah
Hanum?"
"Jangan khawatir, Yu. Aku sudah meminta tetangga di sini untuk membantu proses pemakaman Hanum. Sebentar
lagi mereka pasti datang."
Rahayu memandang ke luar rumah, binar di wajahnya terpancar kala melihat hujan mulai reda, hanya gerimis kecil
menemani langit yang gelap.
Warsih beranjak menuju kamar Raihanum, seketika dia terkejut melihat Gayatri terbaring di atas sajadah dengan
mata terpejam.
"Bangun, Tri." Warsih meletakkan kepala putrinya di pangkuannya lalu menepuk pipi Gayatri.
"Ada apa, War? Kenapa dengan Gayatri?" tanya Ngatiyem yang berdiri di depan kamar Raihanum.
"Aku juga tidak tahu, Mbah. Ketika masuk kamar sudah melihat Gayatri seperti ini."
Ngatiyem mengambil minyak kayu putih dalam tasnya lalu mengoleskan pada hidung Gayatri. Tidak lama
kemudian, Gayatri sadar.
Gayatri merasa sakit di kepalanya, matanya mulai mengerjap.
"Gayatri," panggil Warsih sembari menepuk pipi putrinya.
"Ibu," lirih Gayatri langsung memeluk ibunya.
"Ada apa, Nak?"
"Kepalaku pusing, Bu." Gayatri teringat kejadian sebelum dia tidak sadarkan diri. Namun, ia tidak ingin bercerita
pada siapapun kejadian yang dialaminya.
"Baringkan Gayatri di ranjang, War. Biar dia istirahat," ujar Ngatiyem.
"Iya, War. Mungkin karena terkena hujan membuat Gayatri pusing," timpal Rahayu.
"Tidak, Mbah. Aku ingin ikut membantu proses pemakaman Hanum. Aku ingin ikut memandikan sahabatku," sahut
Gayatri.
Rahayu terharu mendengar ucapan Gayatri. Ia berhambur memeluk sahabat dari cucunya. Tak lama terdengar
salam dari luar. Rupanya para tetangga dan Abizhar yang datang.
Proses pemakaman Raihanum di mulai, Abizhar di bantu tiga orang tetangga Rahayu menggali tanah di depan
rumah Rahayu. Sementara para ibu-ibu mempersiapkan kain kafan. Rahayu, Ngatiyem, Warsih dan Gayatri mulai
memandikan Raihanum.
Perasaan Rahayu kembali hancur melihat luka di sekujur tubuh cucunya, ketika Ngatiyem membuka sarung yang
menutupi tubuh Raihanum. Air mata mereka yang memandikan Raihanum seketika mengalir melihat kondisi tubuh
Raihanum yang begitu menusuk jantung, sakit tapi tidak berdarah.
"Hanum!" Rahayu berteriak sembari menangis histeris ketika melihat kemaluan Raihanum yang hancur, darah segar
terus menerus mengalir.
"Mbah," lirih Gayatri yang ikut terisak seraya memeluk Rahayu yang menangis tersedu-sedu.
"Istighfar, Yu. Kamu harus kuat demi Hanum," ujar Ngatiyem dengan suara parau.
Rahayu tidak kuat menahan tubuhnya. Ia terduduk di lantai. Tangisnya semakin pecah melihat genangan air yang
berwarna merah.
"Aku benar-benar manusia tidak berguna. Aku gagal menjaga Hanum. Seandainya aku tidak sakit-sakitan mungkin
Hanum masih hidup. Dia tidak harus menggantikanku berjualan jamu. Kenapa kaki ini harus sakit? Kenapa
pinggang ini harus sakit? Seharusnya kamu itu kuat Rahayu." Rahayu menangis sembari memukul kaki dan
pinggangnya.
"Ya Allah, Mbah. Jangan menyalahkan diri sendiri," ujar Gayatri yang berusaha menghentikan pergerakan Rahayu.
"Aku tidak berguna. Kaki ini tidak berguna," ucap Rahayu yang terus memukuli kakinya.
Ngatiyem memeluk sahabatnya. "Istighfar, Yu. Semua yang terjadi sudah takdir yang digariskan Allah pada hambaNya."
"Takdir macam apa yang Allah berikan kepada cucuku, Yem. Dosa apa yang sudah Hanum lakukan sehingga Allah
menghukumnya begitu kejam?"
"Astaghfirullah. Istighfar, Yu. Istighfar. Kita tidak boleh berprasangka buruk dengan Sang Pencipta. Mungkin ini
cara Allah menyayangi hamba-hamba-Nya yang beriman. Allah ingin menunjukkan kepadamu bahwa Raihanum,
seorang hamba yang dipilih Allah untuk bertemu dengan-Nya di surga. Allah juga ingin kamu semakin kuat
beriman kepada-Nya walau dihadapkan cobaan yang berat."
"Yang dikatakan Mbah Yem benar, Mbah. Sekarang kita lanjutkan proses memandikan Hanum agar cepat
dimakamkan. Hari semakin larut malam, Mbah. Kasian Hanum kalau harus menunggu lama," ujar Warsih.
Rahayu mengangguk pasrah. Mereka melanjutkan memandikan Raihanum.
"Bagiamana ini Mbah Yem darahnya masih keluar saja?" tanya Warsih.
"Kita harus menjahit kemaluan Hanum agar darahnya berhenti mengalir."
"Dijahit, Yem?" ulang Rahayu dengan suara parau. Ia tidak sanggup membayangkan penderitaan cucunya.
"Iya, Yu," sahut Ngatiyem dengan tatapan sendu.
Lagi, air mata Rahayu mengalir deras. Ia menggeleng. "Apa tidak ada cara lain, Yem? Hanum pasti kesakitan."
"Itu satu-satunya cara agar bisa menghentikan darahnya, Yu." Rahayu terlihat pasrah lalu menatap sendu wajah
pucat Raihanum.
"Gayatri, sebaiknya kamu panggil Gendhis sekarang agar kemaluan Hanum cepat dijahit," titah Ngatiyem.
"Iya, Mbah." Gayatri beranjak menuju rumah Gendhis, seorang bidan yang membantu warga melahirkan.
"Kamu mau kemana, Tri?" tanya Abizhar ketika melihat Gayatri keluar dari rumah Rahayu dengan menangis.
"Aku mau ke rumah Mbak Gendhis, Mas."
"Kamu jangan pergi sendiri, Tri. Biar Kang Ujang yang menemanimu ke rumah Mbak Gendhis."
"Tidak apa-apa, Mas. Kang Ujang biar bantu-bantu di sini," tolak Gayatri lalu mengayuh sepedanya meninggalkan
Abizhar yang menggeleng menatap kepergian gadis yang sudah dianggapnya sebagai adiknya sendiri.
Meskipun hujan turun rintik-rintik, tapi membuat pakaian Gayatri basah. Pandangan tak menentu terhalang air
mata sekaligus hujan. Sepanjang perjalanan hati Gayatri sakit mengingat kejadian yang dialami sahabatnya.
"Maafkan aku, Num. Aku sudah gagal menjadi sahabatmu." Gayatri menangis lalu dengan kasar ia menghapus air
matanya.
"Gayatri."
Gayatri menghentikan laju sepedanya. Ia kaget mendengar namanya disebut.
"Mbak Gendhis." Gayatri tersenyum karena orang yang ingin dijumpainya ternyata bertemu di jalan.
"Kamu mau kemana lagi, Tri?" Pertanyaan Gendhis membuat Gayatri heran.
"Aku mau ke rumahmu, Mbak."
"Ke rumahku?" ulang Gendhis.
"Iya. Kenapa Mbak Gendhis heran begitu?"
"Bukankah kamu tadi sudah ke rumahku. Kamu memintaku untuk menjahit kemaluan Hanum."
Degh
Jantung Gayatri berdegup kencang mendengar penuturan Gendhis.
"Kenapa kamu terlihat pucat begitu, Tri?"
"Aku belum ke rumahmu, Mbak. Ini aku baru mau ke sana karena disuruh Mbah Ngatiyem."
"Ngawur omonganmu, Tri. Aku gak mungkin salah orang. Aku mengerti perasaanmu kehilangan sahabat yang
kematiannya begitu tragis. Sebaiknya kita ke rumah Mbah Rahayu, kasian Hanum kalau menunggu lama.
Jenazahnya harus segera dimakamkan."
"Iya, Mbak," sahut Gayatri pasrah walau dalam hatinya bertanya-tanya siapa sosok yang datang ke rumah Gendhis.
Gayatri mengikuti Gendhis yang mengayuh sepedanya dengan cepat. Tiba-tiba Gayatri merasa bulu kuduknya
merinding. Ia merasakan ada seseorang yang duduk di belakang jok sepedanya.
Gayatri dan Gendhis telah sampai di rumah Rahayu. Gegas mereka langsung menuju dapur, tempat Raihanum
dimandikan. Dapur yang masih berlantai tanah.
"Cepat sekali kalian sampai, Tri," ujar Warsih merasa heran melihat kedatangan anaknya dan Gendhis.
"Iya, Bu. Kita tadi ngebut naik sepedanya," sahut Gayatri.
Mata Gendhis nanar melihat jasad Raihanum. Air matanya perlahan mengalir melihat tubuh gadis dihadapannya
lebam. Terlihat darah keluar dari telinga Raihanum. Air mata Gendhis semakin mengalir deras ketika matanya
tertuju pada organ kewanitaan Raihanum.
"Astaghfirullah. Ya Allah ... Ya Rabb-ku," lirih Gendhis dengan terisak.
"Tolong kamu jahit kemaluan Hanum ya, Dhis."
"Iya, Mbah. Mbah Yu yang sabar, harus kuat demi Hanum. Gendhis berdoa agar siapapun yang berbuat kekejaman
pada Hanum segera mendapat balasan yang setimpal."
"Aamiin. Mbah yakin mereka pasti mendapat balasannya, cepat atau lambat. Mbah tidak akan berdiam diri saja
dengan membiarkan manusia jelmaan iblis itu berkeliaran bebas," sahut Rahayu dingin.
Gendhis mengeluarkan perlengkapan menjahitnya. Sebelum menjahit organ kewanitaan Raihanum, Gendhis
mengelap darah yang mengalir. Dengan perasaan tak menentu gadis yang memakai hijab hitam itu mulai menjahit.
Matanya berkaca-kaca melihat kemaluan Raihanum yang tidak beraturan karena jahitannya tidak bisa rapi. Rahayu
memejamkan mata tidak sanggup melihat kemaluan cucunya. Setelah selesai menjahit Gendhis mengoleskan
cairan agar darah tidak keluar melalui jahitannya.
Ngatiyem membersihkan darah yang keluar dari telinga Raihanum. Mereka membagi tugas untuk membersihkan di
bagian tubuh Raihanum. Setelah semua selesai proses memandikan jenazah pun di mulai sesuai syariat agama.
Setelah itu pengkafanan, salat jenazah yang diimamin oleh Abizhar. Setelah disalatkan Raihanum dimakamkan di
depan rumah Rahayu.
Rahayu menangis histeris ketika jenazah Raihanum dimasukkan ke liang lahat. Ia terduduk, tangannya
menggenggam erat tanah kuburan cucunya. Hatinya menjerit, keikhlasan belum bersemayam di dalam
sanubarinya.
"Mbah janji, Nduk. Mbah akan membalas setiap rasa sakit yang kamu rasakan. Maafkan Mbah yang sudah gagal
menjagamu, Nduk."
"Mbah. Ikhlaskan kepergian Hanum. Kasian dia, Mbah," ujar Warsih sembari merangkul tubuh Rahayu.
"Insya Allah, aku akan mengikhlaskan Hanum jika mereka telah mendapatkan balasan setimpal." Setelah
mengucapkan itu pandangan Rahayu gelap sehingga membuat semua orang cemas.
"Bawa Mbah Yu ke kamarnya," ujar salah satu warga.
Ngatiyem dan Gendhis menemani Rahayu yang pingsan. Sigap Gendhis memberikan pertolongan dengan
mengoleskan minyak kayu putih di hidung Rahayu. Tidak lama Rahayu sadar.
"Hanum," lirih Rahayu.
"Istirahatlah, Yu. Hanum sudah dimakamkan."
Rahayu kembali menangis mendengar ucapan sahabatnya ditambah telinganya mendengar suara lantunan Surat
Yasin.
Malam semakin larut, keheningan menyelimuti hati Rahayu ketika semua orang pulang setelah membaca Surat
Yasin. Rahayu menolak pada saat Gayatri dan Ngatiyem ingin menemaninya. Perempuan yang usianya telah senja
itu berasalan ingin membiasakan diri dengan kesendirian.
Rahayu menuju kamar Raihanum. Ia membuka lemari cucunya lalu mengeluarkan pakaian Raihanum. Rahayu duduk
di tepi ranjang. Ia memeluk, mencium pakaian itu, dan tanpa sadar air mata mengalir membasahi pipi.
"Mbah kangen kamu, Nduk. Mbah kesepian. Biasanya kita selalu berdua," lirih Rahayu sembari menjatuhkan
tubuhnya di atas ranjang. Ia tidur meringkuk seraya memeluk baju Raihanum.
Tembang lagu Jawa yang biasa Rahayu nyanyikan ketika Raihanum mulai tidur terdengar lirih, tertahan karena isak
tangis.
"Tak lelo lelo lelo ledung."
(Mari kutimang-timang engkau anakku)
"Cup menenga aja pijer nangis."
(Cup cup, jangan menangis terus)
"Anakku sing ayu (bagus) rupane."
(Anakku yang cantik/ganteng)
"Yen nangis ndak ilang ayune (baguse)."
(Kalau menangis nanti hilang cantik/gantengnya)
"Tak gadang bisa urip mulyo."
(Kudoakan supaya engkau bisa hidup mulia)
"Dadiyo wanito (priyo kang) utomo."
(Jadilah orang yang utama)
Air mata Rahayu semakin deras mengalir. Tangisnya pecah mengingat cucunya kini telah pergi selamanya.
Harapannya pupus, pergi bersama jasad Raihanum yang terbujur kaku di dalam tanah. Dengan air mata yang
memenuhi kelopak matanya, Rahayu melanjutkan nyanyiannya.
"Ngluhurke asmane wong tuwa."
(Meninggikan nama orangtua)
"Dadiyo pandekaring bangsa."
(Jadilah pendekar bangsa)
Rahayu menghentikan nyanyiannya ketika mendengar suara isak tangis di belakang tubuhnya. Ia merasakan
kehadiran Raihanum. Dengan suara terbata Rahayu kembali melanjutkan nyanyiannya.
"Wis cup menenga anakku."
(Sudah, jangan menangis anakku)
Isak tangis terdengar begitu menyayat hati membuat Rahayu menghentikan nyanyiannya. Ia mencium baju
Raihanum, memeluknya erat lalu memejamkan matanya. Seketika Rahayu merasakan ada tangan yang melingkar di
perutnya. Ia merasakan tubuh yang memeluknya dari belakang dingin, tetapi tetap saja Rahayu merasakan
kehangatan dalam pelukan itu hingga matanya terpejam sempurna.

Post a Comment