Part 2
Rahayu tidak kuasa menahan kesedihan yang mendalam melihat kematian cucunya yang begitu tragis, tangisnya
pecah. Ia meraung di depan jasad Raihanum. Luka di hatinya semakin mendalam melihat gagang cangkul di organ
kewanitaan Raihanum-cucu yang dibesarkannya dengan penuh kasih sayang. Dua orang warga sigap merangkul
tubuh Rahayu yang bergetar hebat.
Rahayu melepaskan rangkulan dua warga lalu memeluk tubuh polos Raihanum yang ditutup daun pisang dengan
deraian air mata.
"Bangun, Nduk. Bangun. Jangan tinggalkan Mbah, Nduk. Kita sudah berjanji untuk selalu bersama-sama," ujar
Rahayu seraya mengusap wajah Raihanum yang berlumuran darah dengan tangan gemetar. Dadanya bergemuruh
seperti langit sore yang berkilauan cahaya kilat dengan petir menyambar.
Warga yang mendengar ucapan Rahayu menjadi terenyuh hatinya, mereka menangis ikut merasakan kesedihan
yang dirasakan sosok yang mereka kenal seorang yang baik, suka menolong dan ramah.
"Ikhlaskan kepergian Hanum, Mbah," ujar Warsih- tetangga Rahayu.
"Tidak ... tidak, aku tidak bisa mengikhlaskan kepergian cucuku."
"Kasian Hanum, Mbah."
"Bagaimana aku bisa ikhlas jika kepergian Hanum dengan cara tak wajar? Aku akan mengikhlaskan kematian
Hanum, jika para bajingan yang sudah melakukan perbuatan biadab pada cucuku mendapat balasan setimpal."
Rahayu kembali memeluk Raihanum lalu mencium keningnya.
"Siapa yang tega melakukan perbuatan biadab ini padamu, Nduk? Katakan sama Mbah, apa yang sakit, Sayang?"
Air mata Rahayu semakin mengalir menatap wajah cantik Raihanum yang pucat dan penuh luka.
"Mbah Yu, sebaiknya kita secepatnya makamkan Hanum hari ini juga mengingat luka di sekujur tubuhnya," ujar
Warsih.
"Bagaimana dengan cangkulnya? Apa kita bawa ke rumah sakit untuk melepaskan gagang cangkul dari kemalu*an
Hanum," timpal yang lainnya.
Rahayu hanya diam mendengarkan obrolan tetangganya. Dia sendiri bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
"Rumah sakit jauh dari desa ini, butuh waktu enam jam untuk sampai ke sana. Sebaiknya Mbah Yu saja yang
menarik gagang cangkul itu," ujar Warsih.
"Aku tidak sanggup melakukannya, Warsih. Hanum pasti kesakitan," lirih Rahayu dengan menangis terisak.
Hujan yang tadinya turun rintik-rintik kini butiran air hujan semakin turun dengan deras, beberapa warga pulang
dan sebagian masih menunggu keputusan Rahayu. Di saat warga bingung, datang Suryo-orang terkaya di Desa
Lingkis.
"Kenapa mayatnya masih di kebunku? Cepat bawa pergi! Aku tidak mau mendapat sial karena ada kematian di
sini," ujar Suryo, pemilik kebun singkong.
"Kami masih bingung, Juragan. Ada gagang cangkul di organ kewanitaan Hanum," ujar salah satu warga.
"Apa kalian semua tidak bisa mencabut gagang cangkul itu?" tanya Suryo seraya melipat tangan di dada.
Warga diam mendengar pertanyaan Pardi.
"Pecundang kalian semua! Payah sekali kalian begitu saja tidak bisa. Aku tidak mau tahu cepat kalian bawa jasad
perempuan jala*g ini pergi dari kebunku."
"Cukup! Jaga bicaramu, Suryo! Cucuku gadis baik-baik. Kenapa kamu menyebutnya jala*g?" Rahayu menatap tajam
Suryo yang menghina cucunya.
"Lihat saja cara kematiannya yang begitu tragis! Hanum pasti menggoda pembelinya dengan mengumbar syahwat.
Oleh karena itu, mereka tergoda dengan rayuan cucumu yang bina* itu."
"Ucapanmu seakan membuktikan jika dirimu salah satu pelaku kekejaman ini," sinis Rahayu.
"Jaga ucapanmu, Rahayu! Jangan menuduh orang tanpa bukti! Cucumu memang jala*g," bentak Suryo.
"Hanum tidak serendah itu. Bukankah istrimu yang jala*g." Ucapan Rahayu yang lantang dan menusuk membuat
Suryo murka.
"Beraninya kamu menghina istriku, Rahayu. Aku tidak sudi Hanum dimakamkan di pemakaman milikku. Aku
haramkan jasadnya bersatu dengan tanah milikku," hardik Suryo.
"Astaghfirullah!" Ucapan istighfar terdengar dari mulut warga.
"Jangan begitu, Juragan. Kasian Mbah Yu. Dia pasti bingung mau dimakamkan di mana cucunya," ujar Warsih.
"Aku tidak peduli. Ini akibatnya sudah berani melawan Juragan Suryo, orang terkaya di Desa Lingkis," ucap Suryo
pongah sembari memukul dadanya.
"Aku juga tidak sudi Hanum dimakamkan di tanah haram milikmu, Suryo," ucap Rahayu lantang dengan bibir
gemetar.
"Kamu akan menyesal dengan ucapanmu. Wahai para warga, jika kalian membantu proses pemakaman Raihanum,
aku pastikan kalian akan dipecat bekerja di kebun dan sawahku," ucap Suryo seraya menatap tajam semua warga,
kemudian berlalu dari hadapan Rahayu.
"Bagaimana ini, Mbah Yu? Di mana kita menguburkan jenazah Hanum?"
"Tolong bantu aku memakamkan Hanum di depan rumahku."
Warga tersentak mendengar ucapan Rahayu.
"Lebih baik Mbah Yu minta maaf dengan Juragan Suryo agar Hanum bisa dikuburkan di pemakaman," ujar salah
satu warga.
"Tidak. Siapapun boleh menyakiti dan menghinaku, tapi aku tidak ikhlas jika mereka menghina dan menyakiti
cucuku. Jika kalian tidak mau membantuku biar aku sendiri yang melakukannya."
"Aku yang akan menggali tanah untuk pemakaman Hanum, Mbah," ujar Abizhar, pemuda yang menaruh hati pada
Raihanum. Namun, Raihanum telah menambatkan hatinya untuk laki-laki lain.
Seulas senyum terukir di bibir Rahayu mendengar penuturan Abizhar.
"Terima kasih, Nak Abizhar. Dari dulu kamu memang selalu ada untuk Hanum."
"Sama-sama, Mbah. Tapi bagaimana dengan gagang cangkulnya?" tanya Abizhar dengan wajah sendu.
Rahayu menghela napas panjang lalu menetralkan degub jantungnya yang berdetak kencang, ketika melihat lagi
gagang cangkul di organ kewanitaan Hanum. Hatinya begitu hancur seakan sebuah palu menghantam dadanya.
Sakit, sangat-sangat sakit itu yang dirasakan perempuan yang berusia setengah abad itu.
"Mbah yang akan mencabut gagang cangkul itu, Nak," lirih Rahayu dengan suara parau.
Abizhar mendekati Rahayu lalu mengusap bahu perempuan yang telah dianggapnya sebagai neneknya sendiri.
"Sebelum Mbah mencabut gagang cangkulnya, pakaikan sarung ini untuk menutupi tubuh Hanum," ujar Abizhar
seraya memberikan sarung kepada Rahayu.
Abizhar berniat pergi ke mushola untuk menunaikan Shalat Maghrib, tetapi di tengah jalan ia bertemu beberapa
warga yang berlarian. Rasa penasaran membuatnya bertanya. Abizhar syok mendengar penuturan salah satu warga
yang mengatakan jika Raihanum ditemukan meninggal dengan kondisi yang mengenaskan di kebun singkong.
Rahayu dibantu Warsih dan Gayatri membalut tubuh Raihanum dengan sarung. Setelah itu mata Rahayu celingukan
seperti mencari sesuatu.
"Apa yang Mbah cari?"
"Hijab Hanum, Tri."
Gayatri membantu mencari hijab Raihanum.
"Ini Mbah, tapi hijabnya sudah kotor penuh lumpur."
"Tidak apa-apa, Tri. Hanum tidak pernah melepas hijabnya. Mbah tidak ingin dia menangis karena tidak memakai
hijab."
Rahayu memakaikan hijab di kepala Raihanum dengan air mata yang terus mengalir dari kedua sudut matanya.
Diciuminya wajah Raihanum dengan perasaan pilu.
"Kamu tetap cantik walau hijabmu kotor, Nduk. Jangan nangis nanti Mbah cuci yang bersih hijabmu." Ucapan
Rahayu membuat Gayatri terisak, hatinya juga hancur melihat sahabatnya pergi dengan cara tragis.
"Ayo Mbah kita bawa Hanum pulang. Hujannya bertambah deras."
Rahayu tersadar dari kepiluannya mendengar ucapan Gayatri. Dia beranjak lalu berdiri di bawah kaki Raihanum.
Tubuh perempuan yang usianya Lima puluh tahun lebih itu bergetar hebat, tangisnya kembali pecah.
"Istighfar, Mbah. Mbah harus kuat demi Hanum," ujar Abizhar sembari memeluk Rahayu.
Rahayu menangis tersedu-sedu dipelukan laki-laki yang berusia 25 tahun itu. Abizhar mengurai pelukannya lalu
menghapus air mata Rahayu.
"Sudah waktunya Mbah mencabut gagang cangkulnya agar Hanum segera dimakamkan."
Rahayu mengangguk lalu sedikit menundukkan tubuhnya. Dengan membaca basmalah dan degub jantung yang
tidak beraturan, ia mencabut gagang cangkul itu. Seketika darah segar keluar dari kemalu*n Raihanum.
"Raihanum!" Rahayu berteriak, sekali lagi hatinya hancur berkeping-keping, tulang belulang di tubuhnya seakan
remuk melihat darah yang mengalir deras dari organ kewanitaan cucunya.
Seketika genangan air hujan bercampur darah di sekitar tubuh Raihanum.
Rahayu terduduk lalu mencium kedua kaki Raihanum, air matanya tumpah seakan ikut merasakan kesakitan yang
dirasakan cucunya.
"Ya Allah, takdir macam apa yang Engkau gariskan untuk cucuku!" teriak Rahayu dengan wajah menangadah ke
langit. Ia tidak peduli dengan terpaan air hujan di wajahnya.
"Mbah," panggil Abizhar dengan deraian air mata.
Hati Abizhar tak kalah hancurnya melihat gadis yang namanya telah tersemat di lubuk hatinya paling dalam
meninggal dengan kondisi yang memperihatinkan. Ia melepaskan baju koko yang dikenakannya lalu diberikan
kepada Rahayu.
"Gunakan baju ini untuk menyumbat agar darahnya tidak keluar lagi, Mbah."
"Kenapa mereka begitu kejam dengan Hanum, Zhar? Kesalahan apa yang dilakukan Hanum sehingga mereka
membalasnya dengan keji?" tanya Rahayu sembari mencengkram tanah.
"Bizhar yakin Hanum tidak berbuat kesalahan, Mbah. Mereka saja yang tidak punya hati dan perasaan telah
melakukan perbuatan yang begitu kejam. Mereka laksana manusia jelmaan iblis."
"Kamu benar, mereka bukan manusia tetapi iblis."
Rahayu mengambil baju Abizhar lalu digunakannya untuk menyumbat darah di organ kewanitaan Raihanum.
Namun, darah masih saja terus mengalir hingga ke kaki Raihanum.
"Darahnya masih keluar, Mbah. Apa lagi yang harus kita gunakan untuk menyumbat darah tersebut?"
Rahayu tidak menanggapi ucapan Abizhar. Ia mengambil genangan air hujan yang bercampur darah Raihanum
dengan kedua telapak tangannya lalu dibasuhkan ke mukanya.
"Aku bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun yang telah membuat Raihanum menderita hingga ajal
menjemputnya hidup dengan tenang. Aku akan membalas setiap rasa sakit yang dirasakan Raihanum. Itu
sumpahku, Tuhan," ucap Rahayu dengan lantang. Bersamaan sumpah yang diucapkan Rahayu terdengar suara petir
menggelar

Post a Comment