Judul : Kabut dendam gadis cenayang
PF : ekslkusif on Fizzo Novel
Bab 1 B
Mendengar jeritan dan tangis Sinta, Sulthan segera menyalakan saklar lampu yang ia matikan sebelum pergulatannya tadi. Seketika ia pun ikut menjerit kaget melihat penampakan di depannya.
Mata Sinta mengeluarkan banyak darah. Ia terus menangis sambil memegangi matanya. Bahkan saat ini, tangan nya pun juga ikut berlumur darah.
Sulthan mulai panik, otaknya sudah tak mampu lagi berpikir tentang apa yang terjadi pada istrinya, dan mengapa terjadi dengan tiba-tiba.
Para tamu dan saudara yang masih tersisa, pun di buat bingung dengan kegaduhan yang terjadi di kamar pengantin. Saling pandang satu sama lain seolah menanyakan apa yang terjadi.
Ratih, wanita paruh baya yang merupakan ibu dari Sulthan terus mengetuk pintu kamar anaknya.
Dengan wajah kusut, dan panik, Sulthan membuka pintu kamarnya.
"I-ibu... Sinta, bu... Sinta... Tolong Sinta !!!"
"Iya, ada apa dengan Sinta, Sulthan ? "
Saat sang ibu masih bertanya, Kakak ipar perempuannya menerobos kamar begitu saja, dan di ikuti dengan keluarga yang lain
"Astagfirullahal'adzim !!!" pekik Indri saat melihat keadaan Sinta yang memprihatinkan. Lantas Indri segera membalut tubuh polos Sinta dengan selimut sembarangan yang ada di sampingnya.
Ratih yang mendengar pekik menantu pertamanya itu, segera mendekat.
"Ya Allah... Kenapa bisa begini Sulthan? Kamu apakan istrimu ?" tanya Ratih yang tak kalah kagetnya.
"Su... Sulthan juga nggak tahu, Bu. Tiba-tiba saja begini." terang Sulthan.
"Ya Allah Gusti, Nduk..." Ratih menangisi menantunya.
"Huhuhu... Sakit, Mas... Sakit... Tolong Sinta... " Sinta terus merintih, menangis, merasakan Sakit pada matanya yang tiba-tiba mengalirkan darah segar.
Mendengar kamar pengantin yang semakin gaduh, para tetangga yang masih berada di rumah Sulthan juga ingin tahu, apa yang terjadi pada pengantin baru itu. Pasalnya, baru sore tadi, binar bahagia itu terpancar dari wajah keduanya, kini terdengar tangisan bersahutan dari kamar pengantin.
"Mbak, kok bisa gitu kenapa?" tanya salah seorang tetangga yang baru datang, ke tetangga di sebelahnya yang lebih lama berada di depan pintu kamar Sulthan.
"Aku juga ndak tau e mbak. Tadi katanya, pas lagi AnU tiba-tiba matanya mengeluarkan banyak darah," jawab sesembak berjilbab peach.
"Apa jangan-jangan kena sawan, kali. Mendingan segera panggil orang pintar deh."
Mendengar omongan itu, Kakak dari Sulthan segera menimpali,
"Mbak,mbak...matanya berdarah bercucuran begitu kok di panggilkan dukun, ya di bawa ke dokter !"
Raja, kakak lelaki Sulthan itu memang tinggal di kota, sehingga pemikirannya jauh lebih maju.
Raja menyuruh sopirnya untuk menjemput Rani, seorang bidan Desa.
Rumah tinggal Sulthan memang letaknya di sebuah desa yang letaknya jauh dari fasilitas kesehatan, sehingga perangkat desa menyediakan layanan bidan desa.
Tok
Tok
Tok
"Iya, Pak. Gimana ? Ada yang bisa saya bantu? " Rani menyembul dari balik pintu.
"Maaf bu, di minta Bu Ratih datang ke rumahnya."
"Bu Ratih, Bu mantan Kades itu, Pak ?"
"Iya, Bu. Benar."
"Oh, iya Pak. Maaf, siapa yang sakit ya Pak?"
"Neng Sinta, Bu."
"Sinta, Menantu baru Bu Ratih, ?"
"Iya, Bu."
"Oh, iya Pak, baik. Saya siapin dulu perlengkapan saya."
Setelah beberapa menit Toni menunggu di atas motor, seorang duduk di jok bagian belakang. dengan segera, ia tancap gas menuju rumah kediaman Ratih. Tak ada percakapan di antara mereka. Hingga sampai di depan rumah Ratih, Raja segera menuju keluar untuk menyambut bidan Rani.
"Lho... Mana Bidan Rani, Ton ?" tanya Raja keheranan.
"Lha in... " Toni menengok kebelakang nya yang ternyata tak ada siapapun. Ia celingukan mencari seorang Rani. Ia sendiri heran. Pasalnya, ia merasa tadi Bidan Rani sudah naik ke atas motornya. Tapi kenapa sekarang menghilang. Mungkinkah ia jatuh ? Pikirnya.
Sementara itu, Sinta terus mengerang kesakitan. Sulthan terus berada di sisinya, menggenggam tangannya dan sesekali memberikan kata-kata penenang, walaupun nyatanya tak mengurangi sedikitpun rasa sakitnya.
Wajahnya sudah tak separah tadi, indri sudah membersihkan wajahnya yang terkena darah, hanya menyisakan darah di jalan air matanya.
"Aduh mas... Sakit mas... Sinta ndak kuat mas... "
Sekeras ia menangis, sederas pula aliran darah itu terus keluar dari matanya.
Sulthan meremas rambut, frustasi.
"Bu... Bidannya mana sih ? Kenapa lama banget ?" Sulthan mulai gusar. Ia benar-benar tak tega melihat istrinya terus kesakitan.
"Baru di jemput sama Toni, Le. Sabar... " ucap Ratih.
"Aaaaaa... Sakit mas... Di tusuk mata aku... Huuu... "
"Siapa yang nusuk, Sin ? Mana ?" tanya Sulthan bingung.
"Sakit mas... Aduh ! Aduh !".
" Iya sayang, iya... "
Di saat yang bersamaan, Bidan Rani sudah siap dengan segala peralatannya. Ia segera mengunci rumahnya. Tapi ia di buat bingung oleh lelaki yang di beri tugas untuk menjemputnya.
"Bukankah tadi ia bilang akan menungguku di luar ?" ucapnya bermonolog.
Ia mencari seorang pria tadi. Tak ia temui seorang pun di sekitar rumahnya. Bulu kuduknya meremang, antara ragu dan yakin. "Yang tadi orang sungguhan atau orang jadi jadian ?" tanyanya pada diri sendiri.
Langkahnya gamang, tapi sisi kemanusiaannya itu terus bergejolak, akhirnya ia lanjutkan tujuannya ke rumah bu Ratih walau berjalan kaki.
Ranti menapaki jalanan bebatuan, akses jalan antar desa ini memang masih belum di benahi. Masih sama seperti pertama kali ia menginjakkan kaki di desa ini untuk menjalankan tugas kemanusiaan.
Tapi, ini pertama kalinya ia merasa merinding di sepanjang perjalanan menuju rumah pasien. pohon-pohon di tepi jalan itu seolah membesar, jalanan yang biasanya sempit, kini terlihat lebih lebar. Langit pun seakan hanya berjarak dua jengkal dari kepala. Suara-suara hewan malam itu membuat suasana semakin mencekam. Dilihatnya jam tangan yang melingkar di tangannya, baru menunjukkan pukul 8 malam.
Benar-benar malam yang tak seperti biasanya. Bukan sekali dua kali, Bidan Rani keluar malam karena panggilan lahiran atau pasien darurat di malam hari, bahkan kadang sampai tengah malam Bidan Rani menapaki jalanan yang selalu ia lewati, rasanya tak se mencekam malam ini.
"Perasaan, aku tadi sudah lewat sini deh." gumam Rani saat menyadari ia telah berputar beberapa kali di tempat yang sama."
Bulu kuduknya semakin meremang, kepalanya serasa lebih besar dari biasanya. Rani berlari kecil mengusir ketakutannya.
Tiba-tiba, di atas pohon besar yang biasanya tak ada, seorang wanita berambut panjang se mata kaki dan berbaju putih lusuh itu menangis tersedu-sedu. Rani menyadari itu bukan manusia, ia bergidik ngeri dan segera berlari.
Kemudian, wanita itu berpindah dari pohon ke pohon yang lain dengan tertawa nyaring.. Rani berlari dengan kencang.
"Tolong... Tolong... Pergi,jangan ganggu aku ! "
"Hihihihihihi... Pulanglah, Ran, !" Hantu wanita itu terus mendekati Rani yang berjalan mundur. Rani menggeleng kepala panik. Peluhnya berjatuhan, keringat dingin mulai membasahi seluruh tubuhnya.
"Pergi ! Jangan ganggu aku ! Pergi...!!!"
Rani berlari kencang. Dan hantu wanita itu juga berlari sekencang Rani berlari.
"Pergi !!! Tolong !!! tolong !!! "
Rani panik, hantu itu seolah ingin menerkamnya. Ia sendiri bingung, kenapa hantu itu terus mengejarnya.
Dari ujung jalan itu, terlihat cahaya yang mulai mendekat, Rani sedikit lega. Ia segera berlari mendekati cahaya itu, berharap ada orang yang juga lewat di jalanan sepi malam ini. Semakin mendekat, cahaya itu semakin terlihat. Harapannya kian pupus, cahaya temaram yang kian cerah karena semakin dekat itu, ternyata bukan seorang yang tengah lewat. Melainkan hantu bola api, yang orang dulu menyebutnya sebagai banaspati. Lututnya kian melemas, dirinya sudah pasrah, jika saja hantu-hantu ini menerkam dirinya malam ini juga. Ia sudah tak kuat berlari, Rani duduk di bawah pohon jati di pinggir jalan. Sesaat kemudian, motor Toni menghampiri Rani.
"Loh... Bu Bidan, kenapa di sini ?" tanya nya.
"Pie to Mas. Saya kok di tinggal. Tadi katanya mau nunggu di luar !" ucapnya dengan ngos-ngosan.
"Maaf Bu Bidan, tadi pikirku Bu Bidan sudah Naik ke motor saya, ya sudah to, saya jalan. Pas sampe rumah, eh, bu Bidannya ndak ada. Ya saya balik lagi jemput bu Bidan. Tapi bu Bidan sudah ndak ada di rumah."
"Hah, jemput saya ? Lewat sini ?"
"Ya iya to Bu. Kan ini jalan utama. Dan satu-satunya akses menuju rumah bu Bidan."
"Lha saya dari tadi jalan lewat sini lho mas, saya ndak lihat mas nya lewat." kata Rani, bingung.
"Saya juga ndak lihat Bu Bidan lho. Saya bolak balik sini sudah tiga kali."
Mereka terdiam, dan bingung. Akhirnya Rani segera naik ke jok motor Toni, menuju rumah Ratih.
di jalan, Toni sedikit menceritakan kondisi Sinta yang semakin memprihatinkan. Matanya terus mengeluarkan darah. Hal itu membuat Rani bergidik ngeri membayangkan yang terjadi pada menantu baru Mantan kades itu. Walau sebenarnya Rani ragu, bisa mengatasi apa yang menimpa Sinta, tapi ia tak bisa menolak kan, ketika seorang pasien minta tolong, walaupun nantinya bakal dirujuk ke fasilitas kesehatan kota, yang lebih lengkap fasilitasnya.
***
Di ujung desa, tepatnya di sebuah rumah tua berdinding anyam bambu, seorang wanita bertudung hitam itu tersenyum senang melihat secawan air yang mempertontonkan kejadian seorang yang tengah kesakitan di bagian mata indahnya itu.
"Itu baru pembukaan," ucapnya dengan seringai tajam.
Post a Comment