Cerita Horor Menikahi Kuntilanak Part 1 "Bayi Yang meninggal tak wajar"


 

Bendera kuning di depan rumah besar itu belum dilepas, masih berkibar-kibar ditiup angin malam yang dingin.

Wanita yang baru seminggu yang lalu melahirkan, harus meringkuk di ranjangnya dengan air mata yang tak

mengering karena menangisi bayinya yang telah tiada.

Semua sulit untuk dilupakan. Segalanya masih terasa aneh untuk dicerna.

Sore kemarin, Maluri sampai di rumah ini setelah melahirkan di rumah orang tuanya, ia membawa bayi

perempuannya yang mungil ke dalam rumah dengan perasaan bahagia.

Ia ke sini sendirian, karena suaminya masih bekerja dan belum pulang.

Maluri menidurkan bayinya yang terlelap di ranjang bayi. Kemudian masuk ke kamar mandi.

Ia mematikan keran shower saat mendengar suara tangisan bayi. Cepat-cepat ia menuju pintu kamar mandi yang

sengaja tidak ditutup.

Bayinya masih tertidur.

Maluri kembali mandi, berpikir tadi cuma perasaannya saja.

BRAK BRAK BRAK!

Terdengar suara pukulan kuat di dalam kamar, lebih tepatnya di atap-atap kamar. Maluri berlari keluar dari kamar

mandi.

Ia bernapas lega melihat suaminya tengah menggendong bayinya, menghadap jendela, membelakanginya.

"Sudah sore. Tutup jendelanya," ucap Maluri. Langit sore sudah berubah menjadi jingga yang pekat. Beberapa saat

waktu Magrib tiba.

"Hmm ...." Suaminya menjawab sembari menimang bayi di gendongannya.

"Aku akan kembali mandi." Maluri benar-benar tak bisa menyelesaikan mandinya karena beberapa hal tadi.

Setelah beberapa menit terdengar suara tangisan bayi kembali, kali ini sangat nyaring, karena Maluri belum selesai

mandi, dan berpikir ada suaminya, maka ia tak menggubrisnya.

Hening.

Maluri mematikan shower dan melilit tubuhnya dengan handuk, lalu melangkah ke luar.

Pintu jendela masih terbuka lebar, tetapi suaminya sudah tak ada lagi.

"Mas," panggilnya. Ia juga tak melihat keberadaan bayinya.

Kemudian ia melangkah ke luar kamar. Lampu belum dinyalakan, hingga keadaan rumah itu remang.

"Mas." Suaranya memantul.

Maluri menoleh cepat ke arah belakang setelah mendengar suara rintihan berat dan basah wanita melewati

belakangnya.

BRAK!

Maluri tersentak saat pintu kamarnya tertutup sendirinya dengan kuat.

Maluri membuka pintu kamar, lalu masuk.

Suara azan magrib terdengar dari masjid yang cukup jauh. Rumah ini terlalu hening dan sepi. Ke mana suaminya

membawa sang bayi?

Maluri terperanjat saat mendengar telepon selulernya berdering kuat hingga memenuhi seisi kamar.

Maluri mengangkat telepon dari suaminya itu.

"Mas, kamu di mana? Sudah magrib, loh. Asefa kamu bawa ke mana?" tanyanya langsung.

"Hah? Kamu bicara apa? Siapa yang bawa Asefa?" Suara suaminya di seberang telepon terdengar heran.

"Tadi ... kamu sudah pulang, kan? Terus ... gendong Asefa di depan jen-jendela ...." Suara Maluri gemetar, jelas-jelas

ia melihat suaminya tadi.

"Tidak. Mas masih terjebak macet di jalan sedari setengah jam lalu.

Maluri terdiam, ia merasakan angin dingin melewatinya, lalu tanpa sengaja melihat sekelebat kain putih melompat

ke jendela.

Deg!

Deg!

Deg!

Jantung Maluri berdetak kencang seiring kakinya melangkah mendekati jendela dengan palan.

"Halo? Sayang? Halo?" Suara suaminya bahkan tak mampu ia dengar lagi.

Maluri menundukkan kepalanya pelan menatap ke bawah jendela.

Handphone terjatuh dari tangannya membentur lantai.

Tubuhnya bergeming dengan mata melotot dan napas yang tertahan.

"Kuntilanak, di daerah itu sangat kental dengan mitos kuntilanak yang mendatangi rumah yang di dalamnya ada

bayi baru lahir." Kata-kata ibunya terngiang di kepala Maluri.

"Itu hanya mitos, Ibu. Buktinya sebulan aku tinggal di daerah itu, banyak bayi yang baru lahir, dan baik-baik saja.

Ibu tenang, Mas Windu memilih rumah yang tepat untuk kami," jawab Maluri.

"Entahlah, ibu hanya dengar gosip itu saat membantu kalian pindah kemarin."

"Ibu jangan khawatir. Ibu mertuaku akan tinggal bersama kami nanti. Beliau akan menemaniku. Lupakan mitos itu.

Bayiku akan baik-baik saja, hm," ucap Maluri pagi tadi di rumah ibunya.

"Halo? Maluri, ada apa?" Suara dari suaminya masih terdengar karena panggilan belum terputus. Kini suara Windu

mulai panik.

"AAAAA ...!" Pekikan Maluri begitu menggelegar, matanya menatap nanar bayinya yang tergeletak di berbatuan

tanpa pergerakan dengan ujung mulut mengeluarkan darah, seperti habis dilempar dari kamarnya yang berada di

lantai dua.

Tubuh Maluri langsung ambruk, kesadarannya menghilang.

***

Maluri kembali terisak kuat sembari semakin erat memeluk dan mencium kain bayinya.

Saat ia sudah terbangun, rumahnya sudah ramai.

Windu mengatakan tadi mendapati Maluri pingsan di depan jendela yang terbuka.

Kemudian bercerita kalau bayinya sudah tak bernyawa lagi di dalam keranjang bayinya, bukan di bawah jendela

seperti yang Maluri lihat sore tadi.

***

Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu, sifat Windu dirasa sudah berubah bagi Maluri.

Suaminya terlihat sangat aneh. Mungkin orang lain beranggapan jika lelaki itu masih terpukul setelah kehilangan

bayinya.

Namun, Maluri sering mendengar suaminya bicara sendiri, bahkan tertawa.

Maluri berpikir suaminya tengah menelepon di dalam kamar, tetapi saat ia masuk, suaminya hanya menolah dan

tersenyum, berdiri di depan jendela.

Hari demi hari, tingkah suaminya lebih aneh lagi. Windu tidur di kamar sebelah, ia tak tidur di kamar bersama

Maluri dengan alasan hanya ingin sendiri dulu untuk menenangkan diri.

Namun, di tengah malam, Maluri malah mendengar suaminya cekikikan di dalam kamar.

Suaminya tidak bersedih.

Hari ini, ibu mertuanya tinggal di rumah bersama mereka. Itu membuat Maluri lebih baik karena memiliki teman

untuk bersandar, dikarenakan suaminya seperti menjauh darinya.

"Windu tidak cerita padamu? Kalau perkebunan apel kita menghasilkan banyak tahun ini. Apalagi harganya naik.

Windu juga membeli tanah lagi dan membangun rumah baru," ucap wanita setengah baya itu.

Maluri menggeleng. Suaminya tak pernah bercerita akan berita baik tersebut. Ia hanya tahu, sebulan lalu jika

banyak putik apel yang gagal. Kemudian Windu berhutang banyak untuk menutupi gaji karyawannya.

"Syukurlah kalau begitu."

Ladumi melihat menantunya itu sangat loyo, tak bersemangat lagi. "Ada apa?" tanyanya khawatir.

"Aku ... aku merasa kalau Mas Windu ... selingkuh," jawab Maluri ragu-ragu.

Ladumi terkejut, kemudian tersenyum menenangkan. Meraih tangan menantunya itu.

"Tidak, ibu sangat tahu Windu begitu mencintaimu. Ibu jamin itu. Kamu percaya saja padanya. Jangan berpikir

yang buruk, ya."

Maluri mengangguk. Ia tak boleh mencurigai suaminya, kendati ia tak bisa menampik kecurigaan jika suaminya

menyembunyikan sesuatu.

***

Suara petir terdengar menggelegar lalu disusul derasnya hujan. Malam itu, daerah tersebut sedang padam listrik.

Maluri terbangun dari tidurnya karena mendengar suara petir. Keringat bercucuran karena merasakan panas tanpa

adanya kipas angin.

Maluri melihat lilin di atas nakas yang sedikit lagi habis. Ia mengambil handphone-nya, habis baterai.

Maluri turun dari kasur. Kemudian mengambil lilinnya, melangkah ke luar, untuk ke dapur mengambil lilin baru.

Setelah dari dapur dan menyalakan lilin baru, ia berhenti di depan pintu kamar suaminya.

Ia bisa mendengar suara suaminya yang terdengar sedang bicara pada seseorang. Apa Windu tengah menelepon?

Deg!

Maluri tak sengaja mendengar suara wanita yang begitu lirih. Apa suaminya membawa wanita ke kamar ini?

Maluri mengedarkan pandangannya, ia melihat kursi dan mengambilnya. Kemudian meletakkan lilinnya di lantai,

lalu menaiki kursi tersebut untuk melihat dari ukiran cela di atas pintu.

Malam ini, ia akan melihat dan membuktikan firasatnya jika suaminya benar-benar merahasiakan sesuatu.

Suaminya duduk di pinggir kasur sembari sedikit mendongak ke atas.

Maluri bisa mencium aroma anyir yang sangat menyengat dari kamar tersebut.

Jantungnya seolah berhenti mendadak. Matanya membeliak lebar.

Sosok wanita berkulit putih dengan tubuh kurus, pakaian putih, rambut panjang kusut, serta lingkaran hitam di

sekitar matanya yang tak memiliki bola, serta mulut yang dilumuri darah. Malayang di depan Windu.

Sosok itu perlahan turun ke lantai, dan perubahan mengejutkan terjadi, tubuhnya menyerupai wanita yang cantik.

Maluri turun dari kursi. Kakinya gemetar, sangat sulit baginya untuk melangkah. Ia mengambil piring lilinnya,

hendak kembali ke kamarnya.

Namun, karena tangannya yang gemetar, tanpa sengaja lilin itu terjatuh, menimbulkan suara pecahan yang

nyaring.

Maluri langsung berlari memasuki kamarnya. Kemudian mengunci pintu. Ia seperti memejamkan mata karena

gelapnya.

Tok tok tok.

"Maluri, kau sudah terbangun?"

Maluri terduduk karena sangat terkejut mendengar suara suaminya dan ketukan pintu.

Ia mundur menjauhi pintu. Tubuhnya menegang saat punggungnya terpentok sesuatu, tetapi ia yakin kasur masih

jauh.

Aroma anyir seperti di kamar Windu tadi, kini tercium di kamarnya.

"Maluri, buka pintunya ...." Suara Windu di luar kamar.

Chk chk chk chk ....

Chk chk chk chk ....

Chk chk chk chk ....

Chk.

Chk.

Chk.

Suara itu terdengar berkali-kali. Suara ... seperti, seseorang yang sedang berdecak lidah dengan pelan, di belakang

Maluri.


Post a Comment

Previous Post Next Post