Cerita Horor Teror Mayat Berdarah


 

"Rum, ya kamu bilangin ke abah mu toh, gimana ini mayit Gayatri," Mba Tini menyenggol tanganku, aku yang sedari tadi melamun, meembulatkan mataku karena terkejut.

"Nggih mba," dengan cepat kulangkahkan kakiku untuk menyempil keluar dari kerumunan orang-orang.

Sudah lewat tengah hari, semua orang terlihat gelisah, bau amis bercampur bau busuk seperti nanah menguar di seluruh ruangan yang hanya berdinding anyaman bambu itu, semakin lama semakin membuat siapapun merasa tak nyaman.

"Huhuhu.....Tolong! Rumi..."

Suara merintih kesakitan terdengar jelas ditelingaku, kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru, tak ada siapapun disampingku, para warga sibuk dengan mayit mba Gayatri, Sedang aku sudah lima puluh meter keluar dari rumah itu.

Kupercepat langkah kaki ini, satu-satunya tujuanku sekarang adalah abah yang sedang izin ke mushola untuk shalat Dhuhur.

Kampungku, masih sangat sepi meski siang hari sekalipun, para warga jika siang hari sibuk dengan pekerjaan dikebun masing-masing, sedangkan di sekitar rumahku masih banyak hutan yang belum tersentuh sama sekali, 

Hanya ada beberapa rumah disini, bisa dihitung menggunakan jari. 

Shhhhttttt.....

"Huhuhuhu.....Jangan biarkan orang-orang mengurburku..."

Terdengar jelas diatas kepalaku, jika seseorang sedang meminta pertolongan, kuteguk salivaku, dengan berani kudongakkan kepala kearah pohon randu besar di atasku.

"Ahaayy....Mba Yatri!!" Rasanya ingin kencing di celana, kakiku tak bisa digerakkan, aku bahkan tak bisa menghentikan jari-jariku yang terus gemetar, seperti ketemu mas-mas KKN yang tampannya aduhai.

Mba Yatri tersenyum lebar, menampakkan wajahnya yang pucat, serta giginya yang runcing, darah segar menetes dari pangkal pahanya ke wajahku, entah mengapa kepalaku tetap tak bisa kugerakkan.

"Khik...khik...Sebentar lagi, kau akan menjadi tumbal selanjutnya, jika kau terlambat kau akan mati sepertiku..."

"Rum! ada apa?" Tangan lembut menepuk pundakku, seketika saat

Tampak Mas Darma berada di sampingku, lelaki tinggi berkulit putih itu, membuat jantungku berdesir. Lelaki pujaanku yang sampai sekarang tetap kupuja karena ia tak peka-peka.

"Ah, tidak apa-apa mas," Jawabku berbohong, aku tak ingin terlihat seperti gadis yang penakut, jika aku mengatakan apa yang barusan kulihat, mas Darma pasti akan menertawaiku.

"Oiya, pak Ustadz mencarimu tuh, katanya sudah saatnya Gayatri dimakamkan,"

"Aku baru saja mau ke Mushola mas," 

Mas Darma menarikku untuk berjalan cepat ke arah pemakaman umum di desaku, meski tak luas tapi pemakaman itu sangat rapi, karena mas Darma sering datang membersihkan area pemakaman itu.

Tampak abah sudah memimpin doa, pemakaman berjalan lancar, hanya sesekali terdengar suara burung gagak yang melintas tepat diatas kepalaku.

Sudah sore, satu persatu warga pulang kerumah masing-masing, nanti malam mereka akan tahlil dirumah mba Gayatri. Sebenarnya aku ingin datang, karena ini jadwal haidku bertamu, jadi rasanya sangat malas untuk bergabung dengan para ibu-ibu julid.

Setelah mandi, dengan sumringah kulangkahkan kakiku ke arah kamar, aku akan bermalas-malasan hingga tengah malam, pikirku.

"Loh Rum? Ga tahlil?" 

"Ngga Bah, Rumi lagi datang bulan, Abah mau berangkat?" 

"Iya" jawab abah cepat, kemudian melenggang pergi.

Dengan malas aku masuk ke kamar dan menutup tubuhku dengan selimut.

***

"Pak Ustadz, tolong!! Tolong saya!!"

Mataku seketika terjaga saat mendengar suara rintihan di depan pintu, karena jarak antar pintu utama dengan kamarku sangatlah dekat, kaki ini kulangkahkan mendekati pintu utama, meski mata terasa sangat berat untuk terus terbuka.

Wusshhh....

Aku beringsut mundur, tatkala hembusan angin pelan menyentuh tengkukku, aku mmerinding, kubiarkan suara itu terus merintih dan meminta untuk dibukakan pintu, tanganku yang sedari tadi memegang kenop pintu, tak juga memutar kunci untuk membuka pintu di depanku, nyaliku ciut seketika.

"Pak Ustadz tolong!" 

Suara perempuan yang terdengar nyaring dan mendayu-dayu itu membuatku memberanikan diri untuk membuka pintu, kuhalau perasaan yang bergemuruh di dada, sebenarnya aku sangat takut dengan hantu mba Gayatri yang datang menemuiku.

"Rumi!!"

"Astaghfirullah abah ngagetin aja!" Pekikku saat abah tiba-tiba berada di belakangku.

"Kamu mau kemana?"

"Kemana apanya Bah? Aku dengar suara perempuan minta tolong di depan, jadi mau aku bukain pintu,"

"Jangan ngada-ngada kamu, abah dari tadi ngga dengar apapun,"

"Beneran Bah!" Mataku melotot meyakinkan Abah, yang seakan tak percaya dengan ucapanku.

Abahku seorang Ustadz di kampung yang damai ini, jadi wajar saja jika sering para tetangga atau warga sekitar yang datang meminta bantuan Abah, entah itu minta di doakan atau sekedar untuk diberi wejangan tentang masalah kehidupan yang rumit.

Suara jangkrik dan hewan malam, menemani kebisuanku dan Abah yang menunggu suara perempuan meminta tolong seperti yang kudengar tadi kembali bersuara.

"Pak Ustadz tolong saya!"

Suara itu terdengar jelas ditelingaku, begitupun dengan abah yang dengan anggukan memberi izin agar aku  membuka pintu dengan cepat.

Sebenarnya tanganku bergetar hebat, karena ada sesuatu yang ganjal rasanya dihati ini, sebab, suara perempuan itu sangat menyayat hati, lagipula sekarang aku tak tau pukul berapa.

"Sebentar Rum! Baca Bismillah dulu" Abah mengingatkanku, sebelum akhirnya aku membuka pintu itu dengan lebar.

Tak ada siapapun di luar sana,  aku celingak-celinguk keluar, kulangkahkan kaki dua langkah keluar, memastikan sekali lagi kalau-kalau ada orang diluar sana, tak ada hasil tetap saja hanya suara jangkrik yang terdengar nyaring dan angin yang berhembus pelan, membuat bulu kuduk siapapun bisa meremang saat itu juga.

"Tak ada siapa-siapa Bah" Ucapku menoleh kearah Abah.

Tak kutemukan abah di belakangku, padahal aku sangat yakin tadi abah berada tepat di belakangku, dengan cepat aku berlari masuk dan menutup pintu dengan tergesa-gesa, sentuhan dingin ditanganku membuatku reflek melihat ke lengan ini, jari-jari pucat dengan kuku panjang yang hitam, mencengkeram erat tangan ini.

"Akhhhh" 

"Astaghfirullah Rumi! Ada apa?"

Terdengar suara abah dari luar rumah.

"Rumi buka pintunya!"

"Abah?" Aku bertanya heran, karena tadi abah berada di belakangku dan sekarang abah diluar,"

"Kamu kenapa?"

"Abah tadi kenapa ninggalin Rumi? Terus abah kenapa diluar?"

"Ninggalin gimana maksud kamu? Abah baru pulang dari tahlil."

Mataku membulat mendengar penuturan Abah, Abah memang suka bercanda tapi kalau tentang seperti ini Abah tak mungkin berbohong. 

Kubiarkan bibir ini mengatup dan tak mengatakan apapun, kemudian menuju kebelakang rumah untuk membasuh wajahku.

Desaku sangat terpencil dan belum ada yang memakai kloset jongkok ataupun duduk disini, kami akan buang hajat di belakang rumah yang telah dibuat lubang dan membersihkan diri dari mata air yang hampir semua rumah memilikinya.

Suasana sangat gelap, biasanya aku tak pernah takut jika bangun jam segini kemudian mengambil Wudhu di belakang, kakiku bergetar, mengingat kejadian tadi, bisa saja makhluk itu mengikutiku dan mengangguku.

"Kamu ngapain wudhu? Katanya lagi datang bulan," Suara Abah menghentikan lamunanku.

"Astaghfirullah, iya bah lupa, Hehehe"

"Sudah masuk sana!"

Belum juga aku menjawab ucapan Abah, ia sudah tak berada disana, ditenpat ia berdiri tadi. Aku mengusuk-ngusuk tengkukku, bulu kudukku lagi-lagi meremang.

"Rumi....Khik...Khik..."

"Akhhhh!!!!"

Post a Comment

Previous Post Next Post